Rabu, 11 Maret 2015

AKU PASTI BISA

Di meja sebelah ranjang kamarnya. Yang menurut dika adalah meja belajar. Walaupun butut dan kaki kakinya sedikit keropos. Dika menulis. Menuangkan ide brillian. Yang ada di otak jeniusnya. Tangannya menuntun pena untuk menari nari di atas kertas. Goresan penanya membentuk huruf. Menyatu menjadi sebauh kata. Terangkai menjadi sebuah kalimat. Terbentuklah coretan coretan yang berantakan, acak dan tak karuan. Yang nantinya akan menjadi sebuah tulisan. Cerpen.

Ia bangun jam tiga pagi. Walaupun agak berat, males dan dingin. Yang membuatnya ingin tidur lagi. Namun sekarang ia bangun. Memaksakan diri. Dan akhirnya berhasil. Dia mematikan alarm hpnya. Setelah berbunyi berderai kencang. “Akhirnya aku bisa bangun jam 3”, kata dika dalam hati.
Hari hari Sebelumnya. Dika berusaha membiasakan diri bangun jam tiga. Namun gagal. Malamnya dika mengaktifkan alarm di hpnya. Dengan nada keras dan waktu tundanya sepuluh menit. Lalu ia tidur.
Pohon cemara, damar dan pinus menancap di badan bukit yang miring. Udaranya begitu segar. Alam pegunungan yang begitu indah. Membawa suasana romantis. Bagi setiap pasangan yang mendatanginya.
Dika dan orang yang dicintainya. Karin. Yang selama ini ia kejar. Mereka berdiri di puncak bukit. Menikmati keindahan alam. Yang membuatnya bahagia.
Aduh hangatnya, Pikir dika. Ketika dirinya sedang berpelukan dengan orang yang dicintainya. Pelukannya sangat erat. “karin, kita akan selalu bersama. percayalah”, bisik dika.
“iya sayang”, desah karin. Lirih.

Tiba tiba dika mendengar sebuah suara “Drrrrr Drrrrr, ting tong ting tong, tolelit, tolelit, tolelit”, Suara itu benar benar Memekik telinganya. Suara itu terus berderai. Kencang. Lalu dika tersadar. Mendapati dirinya sedang memeluk bantal gulingnya. Dia bangun dari tidurnya.
Argh!!! menganggu, gerutu kesal dika. Karena alarmnya membuyarkan mimpi indahnya. Dika pun mematikan alarmnya dan kembali tidur lagi. Sepuluh menit kemudian. Alarmnya berbunyi lagi. Derai kencangnya membangunkan dirinya dan kakeknya. Yang kamarnya bersebelahan. Dengan pembatas dinding tembok. “aduh”, rintih kakeknya dika kesakitan.
“berisik!!!, nganggu wong turu tok. Mbudegi kuping( berisik!!!, mengganggu tidur orang saja. Penging di kuping”, ujar kakeknya. Yang kebetulan sedang sakit gigi.
Mampus aku, kata dika sambil menepok jidatnya.
Lalu dika men-off kan alarmnya. Dia tidur lagi. Plong. Dia bangun kesiangan.
Waduh!, kenapa aku nggak bangun jam tiga?. Ah, sia sia, dika menyesal. Mau tidak mau ia harus mandi, makan dan berangkat sekolah. Walaupun nggak mood.

“bro, Aku kok susah ya bangun jam tiga pagi. Awalnya alarm berbunyi. Aku lalu bangun. Kemudian aku tidur lagi. Berulang ulang aku mengalaminya. Sulit rasanya. Untuk bangun jam tiga”, dika tampak lesu. “bagaimana ini bro?”
“ketika kau ingin bangun jam tiga. Sebelum tidur. Kau harus berkata pada diri sendiri. ‘aku bangun jam tiga, aku bangun jam, aku bangun jam tiga.’, ucakan secara berulang ulang. Hingga terasa ngantuk”, ujar temannya dika. Roni
“serius?”
“enggak”
“hmmm. Kau sudah pernah mencobanya?”
“Tinggal coba aja kok. Aku sering melakukannya.”
Awalnya dika ragu. Apakah benar yang dikatakan roni?, pikir dika sebelum tidur. Setelah pikiran dika penuh pertimbangan. Akhirnya dia mencoba. “aku pasti bisa!”, kata dika. Ia yakin, bahwa ia akan berhasil. Dika pun tidur.
Benar. Tepat jam tiga. Dika bangun. Dengan spontan. Tanpa alarm. Tanpa ada yang membangunkannya.
Setelah bangun. Dika pun mencuci muka, berwudhu. Selanjutnya dika sholat tahajud, sholat hajat dan menulis.
Dika terus menulis. Sudah empat lembar tulisan dika sampai. Apa yang dilakukan dika sudah di tengah jalan. Mungkin tulisan ini tiga lembar lagi, pikir dika. Menebak nebak. Di saat saat seperti inilah. Dika harus melawan dirinya sendiri. Beban pikiran mulai bermunculan. Apakah saya bisa menyelesaikan ini?. beban pikiran perlahan lahan mulai keluar.
Satu per satu beban itu keluar. Dika berusaha membuyarkannya. Namun beban pikiran itu terus bermunculan. Tak henti henti. Hingga mendinginkan semangat dirinya yang membara.
Dika tak ingin seperti dulu lagi. Ketika ia menulis. Sampai paragraf satu. Dika pun berhenti, ngeblank, kehabisan ide. Tak tau apa yang harus ia tulis lagi. Alih alih dika merenung. “ketika kau ingin bisa menulis. Ya, menulislah”, kata kata penulis terkenal muncul di pikiran dika. Namun dika bingung. Harus menulis apa?, dika bertanya dalam hati.
Entah disambet setan apa. Dika kesal. Merobek, meremas remas kertas yang berisi tulisan yang ia tulis. Menjadi bulatan bola kertas. Dan membuangnya ke tempat sampah. Apa yang dialami dika. Terus berulang ulang. Dalam hal yang sama. Menulis, ngeblank, marah, merobek dan meremas remas tulisannya.
“bodoh!”, dika memaki maki dirinya sendiri.
“Mungkin aku tak mempunyai bakat menulis, dika terus menghakimi dirinya sendiri. Aku tak bisa apa apa. Aku tak mempunyai bakat apa pun.”
“Pagi yang sial!”, dika kesal.
Semangat dika semakin meredup.
Dika memutuskan untuk berhenti menulis. Kembali ke kebiasaan buruknya. Malas malasan, makan, tidur, makan, tidur lagi. Lalu facebookan. Sehabih pulang sekolah sampai maghrib. Namun karena telah membaca sebuah status milik temannya. Dika pun jadi iri. Dirinya memanas. Terbakar keiriannya.
“horeee, cerpennya aku masuk majalah story. Sob, besok makan makan ya, lumayan honornya”, status itu spintas seperti mengejek dika. Seolah olah tulisan itu hidup. Keluar dari layar hpnya dika. Menjalarkan lidah, yang amat panjang. Sambil mele mele ke hadapan dika.
Anj*ng, kenapa dia bisa berhasil. Ah, tidak. Terkutuklah dika. Semakin mengecil. Melemas. Di kuasai keiriannya. Lalu memanas. Semakin membara. Lalu dia mengambil pena dan buku diarynya. Yang berisi kumpulan cerpen. Yang pernah ia tulis. Dika pun sekilas membaca cerpen yang pernah ia tulis. Dia ketawa melihat tulisannya. Betapa lucunya tulisanku. Ternyata tulisanku benar benar bagus, kata dika bangga.
“ternyata aku mempunyai bakat menulis”, kata dika.
Langit senja berwarna jingga. ronanya membara. Bara ronanya. Menjilat dika. Tersengatlah dika. Memanas. Berkobar kobar. Untuk merangkak ke depan. Kembali menuangkan ide. Menulis. Ia kembali semangat lagi.
Lalu dia membuka lembaran kertas kosong. Dia ancang ancang untuk menulis. Awalnya dia bingung. Mau menulis apa ya?, pikir dika penuh pertimbangan.
“kalo ingin bisa menulis, ya menulislah”, kata kata penulis terkenal itu terlintas di benak dika. Seperti suara pesawat yang melintas di langit. Yang membuatnya dika menatap ke atas. Untuk memandangi pesawat itu. Setelah berfikir panjang. Akhirnya dika pun menulis judul cerpennya. “Dika and dream”.
Setelah berlembar lembar tulisan dika tercapai. Penyakit menulisnya muncul kembali. Ngeblank. Aku tak boleh menyerah, pikir dika mencegahnya. Ia pun memutuskan untuk berhenti. Menenangkan pikirannya. Aku tak boleh menyerah, kata dika.
Nafasnya ditarik panjang panjang. Di keluarkannya pelan pelan. Ia sigap dari tempat duduknya. Berdiri. Mondar mandir. Di dalam kamarnya.
Berkali kali ia mondar mandir. Tak terhitung. Cukup lama. Galau yang ia rasakan. Pikirannya berantakan tak tertata. Ia sekarang bingung. Harus berbuat apa?. Aku tak boleh menyerah, ucapnya sekali lagi.
Dalam hati ia berkata penuh keyakinan “aku pasti bisa!, aku pasti bisa!, aku pasti bisa!”
Ia kembali duduk. Matanya menatap langit langit kamarnya. Yang terlihat hanyalah. Eternit yang bolong. Di gerumuri ramat. Di gantunginya laba laba. Ah, tak penting juga. Menatap laba laba itu, pikir dika. Sambil memalingkan pandangannya. Terhadap laba laba itu.
Kemudian matanya tertuju. Pada tembok kamarnya. Yang berada di depan mata. Sebuah kertas manila. Berwarna putih. Yang usang. Berdebu.
“petiklah sebuah mimpi, tampunglah dalam sebuah kepercayaan, bawalah dengan tindakan”, tulisan itu terangkai di kertas yang menempel di tembok itu.
Dika terus menatapnya. Ia tau apa maksud tulisan itu. Ia benar, kata dika dalam hati. Aku harus mempunyai mimpi, aku harus mempercayai mimpiku ini bahwa akan terwujud,dan aku harus bertindak untuk mengejar mimpi mimpiku ini. Ya, aku tau. Tambahnya.
Di benak dika terus berkecamuk berbagai macam pikiran. Bagaimana nantinya kalau mimpi mimpiku tak tergapai?. Apa anggapan ibuku, ayahku, tetanggaku dan orang orang kalau aku tak mempunyai mimpi. Orang pasti beranggapan bahwa aku tak ada gunanya. Yang menyusahkan mereka. Bayang bayang itu terus menghakimi dika. Penghakiman itu benar benar membuat dirinya terbakar. Emosinya meletup. Meledak. Doar!!!
“Ah tidak!!!, kedua tangan dika memegang kepalanya. Aku tak boleh menyerah, tak boleh!. Semua orang pasti akan bangga padaku. Tunggu saja”, gerutu kesal dika. Penuh khayal Setelah emosinya meledak.
Tanpa berbasa basi. Juga tanpa berpikir panjang. Dika pun kembali melanjutkan tulisannya. Tulisan tentang dirinya yang sedang mengejar mimpinya. Aku pasti bisa!, menyelesaikan tulisan ini, kata dika dalam hati. Penuh keyakinan. Aku pasti bisa!, aku pasti bisa!, aku pasti bisa!, ucapnya secara berulang ulang.
Rona senja yang berwarna jingga semakin meredup. Termakan pintu pintu gelapnya malam. Namun gelapnya malam. Tak memakan semangatnya dika. Malah ia semakin semangat. Api semangatnya berkorbar terus membara.

0 komentar:

Posting Komentar