Selasa, 18 November 2014

Indonesia di Tengah Arus Perubahan Politik Dunia


SEJAK perang dingin berakhir, dunia terus bergerak menuju equilibrium yang baru; perang Irak adalah satu dari sederet dinamika perubahan tersebut. Mereka yang paham ke mana arus besar globalisasi akan bergerak, justru dengan mudah dapat memanfaatkan daya dorong perubahan tersebut untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya.
Derasnya arus perubahan juga bisa menghadirkan miracle dan kesempatan untuk melaksanakan high acceleration pembangunan tanpa mengeluarkan biaya dan tenaga yang berarti. Anehnya di beberapa negara, persoalan yang sesungguhnya begitu sederhana, kemudian dibuatnya menjadi complicated karena mereka enggan, asal-asalan, ada pula yang memang tak peduli, dan kemudian keliru dalam menyikapi perubahan lingkungan global yang sedang terjadi.
Memang sulit untuk dimengerti, betapa kepentingan nasional sebuah bangsa begitu saja dipertaruhkan, padahal dampaknya akan ditanggung oleh segenap warga. Perubahan lingkungan global pascatragedi 11 September 2001, dunia telah menempatkan antiterorisme di depan isu global lainnya seperti demokrasi, keterbukaan, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup.
Demokrasi sebagai ideologi, telah membuktikan diri dalam penegakan perikemanusiaan dan perikeadilan. Di sanalah, maka mustahil sebuah perdamaian bisa diwujudkan tanpa didahului pembangunan demokrasi. Menjadi "wajar" bila kemudian Irak dijadikan "sasaran antara" karena imbasnya akan sangat signifikan dalam pembangunan demokrasi kawasan. Begitu pula dengan negara-negara bekas Eropa Timur, dengan bantuan Barat utamanya Amerika Serikat (AS) secara relatif telah berhasil membangun peradaban barunya termasuk di bidang demokrasi. Hal yang serupa juga terjadi di Asia Timur dan Tenggara.

Cina dengan cadangan devisa dan peluang pasar yang begitu besar sesungguhnya tidak bisa lepas dari cara memanfaatkan perubahan lingkungan. Apalagi Jepang yang responsif terhadap perubahan, kini terdepan dalam hal politik ekonomi kawasan. Di Asia Tenggara sendiri, bagi mereka yang fondasi demokrasinya lebih kuat seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand, dengan cepatnya bisa keluar dari krisis.
Di sanalah kita bisa memahami penyikapan banyak negara terhadap perang Irak yang umumnya lebih mengedepankan alasan-alasan rasional sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing. Bahkan sebagian besar negara Arab sendiri malah mendukungnya, baik secara terang-terangan ataupun terselubung.
Di sisi lain akibat penyikapannya yang keliru, maka di pascaperang; GNB, OKI, dan terlebih PBB, akan menjadi sangat lemah. Ke depan PBB otomatis akan berada di bawah dominasi AS, bila tidak maka berakhirnya eksistensi PBB tinggal soal waktu. Kita juga seharusnya memahami mengapa AS tidak mengedepankan peran PBB dalam penanganan Irak pasca perang, karena rekonstruksi dan pembangunan kembali peradaban baru Irak justru sebagai entry point yang sangat strategis bagi kelanjutan perdamaian di Timur Tengah. Apalagi nyatanya sejumlah kasus sejenis yang ditangani PBB justru tidak efektif seperti yang terjadi di Kosovo dan Siprus.
Rusia pun cepat-cepat berbaikan dengan AS untuk meminta agar utang Irak sebesar 12 miliar dollarAS tetap diakui oleh Pemerintahan Baru Irak. Namun demikian karena sikapnya yang menentang perang Irak, maka dalam perundingan multilateral dengan Korea Utara, Rusia tidak diikutsertakan. Dan sebaliknya Cina justru memegang peran.
Sesungguhnya Perancis dan Jerman sudah mengubah sikap kerasnya, namun AS tidak mau kompromi. Yang terjadi mereka bersama Belgia dan Luksemburg kemudian mengambil langkah yang kini justru membuat NATO terancam pecah.
Sikap Pakistan yang begitu jelas hitam putih terhadap masalah terorisme telah membuat keajaiban di mana dunia mendadak tak peduli lagi bahwa dulu Presiden Pervez Musharraf memperoleh kekuasaannya lewat kudeta. Apalagi kemudian Pakistan tidak melibatkan diri dalam pro-kontra perang Irak. Begitu pula Malaysia, untuk meyakinkan dunia bahwa dirinya tak kompromi dengan terorisme, walaupun tega terhadap kita dengan mengusir TKI ilegal, tetapi yang jelas dunia kemudian lupa bahwa Islam radikal pernah subur di sana.
BAGAIMANA dengan Indonesia? Sejak tragedi 12 Oktober 2002 di Bali memang telah terjadi sedikit perubahan dalam menyikapi soal terorisme, namun sulit bagi dunia untuk meyakini bahwa kita sungguh-sungguh memerangi terorisme secara berkelanjutan. Apalagi pengeboman dan sejumlah tindak kekerasan terus terjadi. Sikap yang terus tidak jelas terhadap terorisme, bila dihadapkan pada kerawanan geografis, sangat mungkin menimbulkan asumsi bahwa Indonesia jadi persembunyian yang paling aman bagi teroris pelarian dari negara-negara lain.
Dalam kasus perang Irak, sikap kita dalam membela Presiden Saddam Hussein juga lebih militan daripada bangsa-bangsa Arab maupun rakyat Irak sendiri. Pascaperang Irak di saat segenap negara mencoba berbaik-baikan dengan AS dan sekutunya untuk berebut rezeki dalam program rekonstruksi dan rehabilitasi, kita memilih jalan lain dengan merapatkan diri ke Rusia dan beberapa negara eks Eropa Timur lainnya yang saat ini justru mempunyai ketergantungan yang tidak kecil terhadap Barat, khususnya AS. Padahal sikap yang demikian itu bisa mengganggu persahabatan kita dengan banyak negara Barat.
Persoalan internal seperti Aceh kemudian diangkat ke forum internasional lewat peran sebuah LSM (Henry Dunant Centre) yang ditindaklanjuti dengan Forum Donor Tokyo untuk Aceh. Tak lama kemudian kita menyilakan mereka lepas tangan. Sepertinya semua dipikir secara pendek, tidak menghitung kemungkinan timbulnya komplikasi dan masalah baru di kemudian hari. Begitu pula dari aspek geopolitik, dengan Cina yang segera bangkit sebagai "raksasa" sudah barang tentu membuat banyak pihak berkepentingan adanya jalur laut bebas yang menghubungkan antara Samudera Hindia dan Pasifik.
Begitu pula posisi strategis Aceh khususnya Pulau We kelak setelah Thailand membuat terusan yang menghubungkan antara Samudera Hindia, Laut Cina Selatan, dan Pasifik. Banyak pihak akan diuntungkan secara geopolitik dengan lepasnya Timor Timur. Dan bisa jadi mereka juga berharap Papua dan Aceh (mungkin juga bagian NKRI lainnya) dalam konteks geopolitik itu?
Apakah semua ini terabaikan hanya karena elite politik dan juga Pemerintah begitu sibuk menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2003 dan juga Pemilu 2004? Atau suatu kealpaan semata, atau memang ada kesengajaan di antara kita? Dan bukankah kekuatan yang paling mendasar untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan bangsa dan negara pada saat kita sendiri sedang "sakit keras" karena belum mampu keluar dari krisis, adalah justru terletak pada jalinan persahabat kita dengan segenap negara, dan haruskah kita sadar kelak setelah semuanya sudah tercerai berai?
Pada saat-saat yang menentukan, kepemimpinan seringkali identik dengan menentang arus. Maka yang diperlukan bukan bertanya apa yang dikehendaki rakyat, tetapi apa sebenarnya yang lebih dibutuhkan rakyat dalam jangka panjang dan apa yang harus diperbuatnya sekarang juga. Memang ini tidak mudah, dan bahkan terkadang harus kehilangan jabatan dan bisa jadi kehilangan nyawa. Akan tetapi, bila pemimpin tidak mau meng-exercise yang demikian itu, rakyat banyak akan menanggung deritanya dan dalam banyak hal akan kehilangan nyawanya.

0 komentar:

Posting Komentar